BAHASA MADURA SEMAKIN TERGERUS ZAMAN
Mengutip dari kumpulan cerpen Arach djamaly "BATO KO'ONG" di halaman Kata Pengantar, Beliau memberikan peryataan, bahwasanya "menjelajahi Sastra Madura maksudnya, Sastra Berbahasa Madura ibaratkan pengembara bertualang di hutan kering. Ranting cabang berpatahan, daun-daunnya telah meranggas berguguran. Apalagi kehadirannya ditengah-tengah arus wacana kontemporer sekarang ini, merupakan sebuah paradoksal. Ditambah lagi dalam kondisi objektif pemahaman penuturnya terhadap bahasa ibunya sangat memilukan. gejala seperti ini tidak hanya menimpa Bahasa Madura saja, tetapi juga daerah-daerah lain di wilayah Nusantara ini.
Bahkan sebagian dari mereka ada yang tidak dibesarkan dan diasuh dalam mmongan bahasa ibunya. sehingga diantara mereka, lebih menguasai bahasa asing daripada Bahasa Ibunya. Mereka telah tersekat jauh dari tembok tradisi, sudah tidak tahu menahu lagi terhadap bahasa Ibunya. Barangkali ini merupakan salah satu tumbal modernisasi".
Baca Selengkapnya
Apakah, Bahasa Madura sudah Punah, dikarenakan para penerusnya sudah tidak begitu mementingkan Bahasa Ibu nya?.
Dari observasi penulis dilapangan, menyimpulkan bahwa "kaum" penerus memang sudah melupakan Bahasa Madura, yang katanya sulit dipelajari. Dan lebih senang dengan bahasa "Pertiwi" yang merupakan Bahasa Nasional. Entah, sampai kapan Bahasa "Ibu" ini bertahan?!.
"Angen, se salengka' e bai' dhalem, angen se gi' reket e talempo'na ate, angen se talempet enleppeddanna sokma, meltas meltes apangka' okara, abali'lar nalar gancaran, alecceng araket e brengtana" (Arach Djamaly).
Bahkan sebagian dari mereka ada yang tidak dibesarkan dan diasuh dalam mmongan bahasa ibunya. sehingga diantara mereka, lebih menguasai bahasa asing daripada Bahasa Ibunya. Mereka telah tersekat jauh dari tembok tradisi, sudah tidak tahu menahu lagi terhadap bahasa Ibunya. Barangkali ini merupakan salah satu tumbal modernisasi".
Baca Selengkapnya
Apakah, Bahasa Madura sudah Punah, dikarenakan para penerusnya sudah tidak begitu mementingkan Bahasa Ibu nya?.
Dari observasi penulis dilapangan, menyimpulkan bahwa "kaum" penerus memang sudah melupakan Bahasa Madura, yang katanya sulit dipelajari. Dan lebih senang dengan bahasa "Pertiwi" yang merupakan Bahasa Nasional. Entah, sampai kapan Bahasa "Ibu" ini bertahan?!.
"Angen, se salengka' e bai' dhalem, angen se gi' reket e talempo'na ate, angen se talempet enleppeddanna sokma, meltas meltes apangka' okara, abali'lar nalar gancaran, alecceng araket e brengtana" (Arach Djamaly).